Menaikkan Tarif Iuran BPJS Bukanlah Solusi Menutupi Defisit

Salam Pak Presiden !!
Saya sebagai wakil dari kaum kecil hanya ingin menanyakan tentang aturan BPJS yang baru. Kami dibuat heran dengan kebijakan Bapak untuk menaikkan tarif BPJS persis dimana negeri ini sangat memerlukan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan biaya murah, bahkan mungkin digratiskan. Banyak rakyat negeri ini yang mempunyai beragam keluhan kesehatan, mempunyai riwayat kesehatan yang buruk, yang mengharuskan mereka rutin memeriksakan diri ke pusat kesehatan, dengan hanya mengandalkan BPJS. Apalagi disaat ini, dimana dunia saat ini masih dibawah ancaman virus covid 19, akan banyak lagi rakyat di negeri ini yang akan menggunakan BPJS, baik untuk pemeriksaan kesehatan hingga perawatan dan pengobatan. Tak tepat rasanya, jika saat ini Bapak menyetujui kebijakan menaikkan tarip BPJS di saat-saat seperti ini.
Memang benar, dari awal berjalan hingga saat ini, BPJS terus mencatatkan defisit. Dari defisit hingga 1,9 trilyun di tahun 2014, kemudian defisit meningkat di tahun 2015 menjadi 9,4 trilyun, bahkan hingga tahun 2019, BPJS terus defisit di angka 13 trilyun. Tapi bagi kami BPJS sudah seperti malaikat penolong disaat kami butuh pelayanan kesehatan yang baik, dengan tarif yang tidak memberatkan. Jika memang defisit BPJS tidak bisa ditutupi, setidaknya Bapak bisa menutupinya dari sumber pendapatan lain, misalnya bea cukai rokok yang pernah Bapak singgung sebelumnya atau menaikkan pajak barang mewah, ataupun bea masuk barang-barang e-commerce dari luar negeri.
Saya juga setuju dengan rencana Bapak untuk mengalokasikan 75% dari sebagian pendapatan pajak rokok untuk menutupi BPJS, kenapa tidak segera dilakukan ? Bukan wacana lagi, jika rokok bisa membunuh manusia secara perlahan. Menaikkan pajak rokok sepertinya bisa jadi solusi. Walaupun tetap tidak bisa mengurangi jumlah perokok di negeri ini, tapi jika sekarang ini saja, bea cukai rokok sudah terbilang tinggi, sedangkan penikmat rokok masih merajalela seolah tidak terpengaruh dengan harga rokok yang mahal, maka tak akan berpengaruh juga jika pajak rokok dinaikkan. Penikmat rokok akan berusaha membeli rokok semahal apapun itu.
Juga dengan pajak barang mewah. Di Indonesia saat ini sudah banyak kaum sosialita dan kaum elite, Pak.. yang mengandalkan barang mewah sebagai alat pembuktian kelas dan strata sosial. Saya rasa penentuan tarif paling rendah 10%, masih dibilang murah Pak, walaupun memang tarif tertingginya bisa mencapai 200%., tapi itu belum sebanding dengan harga pembelian barang-barang mewah tersebut. Peningkatan 5% menjadi 15%, dari yang tadinya 10%, saya rasa masih wajar. Ya memang, kaum elite dan sosialita di Indonesia tidak lebih banyak dari masyarakat miskin, yang hidup bergantung dari BPJS, tapi setidaknya itu bisa sedikit menutupi.
Mungkin tambahnya bisa didapat dari barang-barang e-commerce dari luar negeri. Selain bisa menutupi defisit, juga bisa melindungi pengusaha-pengusaha produk dalam negeri berikut UMKM yang sekarang ini sedikit harus bersaing dengan penjual-penjual e-commerce dari luar negeri, dengan maraknya penjualan online.
Jika selama ini bea masuk e-commerce berkisar 7,5 % dari ambang batas terendah 3 dollar, kenaikan sekitar 0,5%  kiranya masih dikatakan wajar. Ataupun kenaikan bea masuk e-commerce untuk produk-produk yang dikecualikan seperti baju, sepatu dan tekstil, yang biasanya dikenakan tarif sekitar  15-20 % untuk produk tas dan tekstil misalnya bisa dinaikkan menjadi 20-25%, sedangkan untuk sepatu, karena tarif pajaknya sudah tinggi, yaitu sekitar 25-30%, sekiranya belum saatnya untuk dinaikkan. Mengingat bea masuk untuk barang-barang e-commerce tersebut, juga dikenakan PPN senilai 10 % dan PPh sekitar 7,5% - 10%.
Belum lagi dari sektor lainnya, misalnya pajak ekspor impor, dan semacamnya. Setidaknya itu bisa menjadi sedikit solusi untuk menutupi defisit BPJS, sehingga menghindari kenaikan tarif BPJS. Mungkin bagi sebagian orang, kenaikan sebesar itu tidak berarti apa-apa, tapi bagi kami rakyat kecil sungguh dibatas kewajaran. Bayangkan saja, kenaikan tarif BPJS untuk kelas 1 saja, mencapai 150 ribu dari tadinya yang hanya berkisar 80 ribu, dan kelas 2 yang tadinya 51 ribu, kini naik menjadi 100 ribu, sedangkan untuk kelas 3, yang tadinya 25 ribu, sekarang menjadi 42 ribu, walaupun untuk kelas 3 ini ada subsidi yang dibayarkan pemerintah sebesar 16.500 rupiah, sehingga yang dibayarkan tetap 25 ribu. Tapi itu tidak akan lama, karena berhembus kabar subsidi pemerintah ini akan dikurangi menjadi 7 ribu, sehingga nanti peserta BPJS harus membayar 35 ribu.
Coba bayangkan Pak, jika satu keluarga saja ada 4 orang, untuk kelas 1 misalnya, sebulan harus membayar 4 × 150 ribu rupiah, maka kami harus membayar 600 ribu/ bulan. Sungguh berat Pak, sedangkan untuk pengurusan penurunan kelas BPJS ini  saja terkesan sulit dan berbelit-belit. 
Semoga dengan ini Bapak Presiden bisa mendengar dan menanggapi keluhan kami. Karena untuk alasan apa pun, kenaikan tarif BPJS bukanlah solusi terbaik, walaupun dilakukan untuk menutup defisit sekalipun.





Opini ini pernah diikutsertakan dalam lomba opini saran untuk Presiden yang diselenggarakan oleh Https://www.inisiator.com



Comments

Popular posts from this blog

Mau Jalan-Jalan Kemana Setelah Pandemi Usai? Ini 4 Kawasan Wisata yang Harus Saya Kunjungi Nanti!

Kau Wanita

11+ Cara Meningkatkan Potensi Ekspor Indonesia