Di Balik Kultur Masyarakat Dieng




Di Balik Kultur Masyarakat Dieng - , Masyarakat Dieng merupakan masyarakat yang memegang erat budaya dan tradisi. Ada beberapa tradisi dan kebiasaan masyarakat yang tak bisa kita temukan  dimanapun selain hanya dalam kehidupan masyarakat Dieng. Kultur inilah yang menjadikan Dieng sebagai warisan budaya tak benda, selain dengan warisan candi dan cagar budayanya juga tentunya.

Masyarakat Dieng memegang teguh adat istiadat yang diwariskan oleh para leluhurnya. Ini terbukti dari masih banyaknya upacara-upacara dan ritual-ritual adat yang masih dilakukan hingga saat ini. Ritual-ritual tersebut diantaranya ritual pemotongan rambut gimbal yang diadakan setiap satu tahun sekali yang berlangsung di puncak gunung Dieng.


Tradisi Karing dalam kultur masyarakat Dieng.

Dieng dianugerahi pemandangan alam yang indah, dengan beberapa puncak gunung serta dataran tinggi yang eksotis. Ada beberapa puncak gunung yang menawarkan pemandangan alam yang mempesona siapa saja yang memandangnya. Puncak-puncak gunung seperti puncak gunung Prau, Sikunir, Pakuwaja dan Pangonan yang bisa dijadikan lokasi menikmati sunrise.

Dengan dataran tingginya, otomatis menjadikan Dieng sebagai tempat yang berhawa sejuk dengan suhu yang hampir mendekati 0 derajat Celcius. Bahkan dalam beberapa waktu lalu, suhu udara di kawasan Dieng mencapai - 3 derajat Celcius.

Karena hawa sejuk ini, masyarakat Dieng mengenal namanya " Karing ". Karing ini diartikan dengan berjemur dibawah matahari untuk sekedar menghangatkan badan. Karing sudah dikenal masyarakat Dieng sejak dulu. Ini juga yang mrmbuat kultur masyarakat Dieng menjadi unik dan berbeda dari kultur masyarakat daerah lainnya.


Genen dan Kultur Masyarakat Dieng.

Selain Karing, masyarakat  Dieng mengenal istilah Genen. Genen sendiri diartikan menghangatkan diri di depan tungku masak di pawon ( dapur ). Berbeda dengan kehidupan masyarakat di daerah lain menjadikan ruang tamu sebagai tempat untuk menerima tamu. Lain halnya dengan kultur masyarakat Dieng yang menjadikan pawon ( dapur ) sebagai tempat untuk menyambut tamu. Jadi jangan heran jika kita berkunjung ke Dieng, tuan rumah langsung mengajak kita untuk langsung pergi ke dapur.

Genen juga sebagai ajang bercengkerama antar anggota keluarja, ajang silaturahmi dan bertukar pikiran antara tuan rumah dan para tamu yang datang ke rumahnya. Kultur masyarakat Dieng sajalah yang terbiasa dengan tradisi tersebut.


Makanan Pokok Masyarakat Dieng.

Umumnya makanan pokok masyarakat Dieng adalah yang berasal dari hasil pertanian dan perkebunan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tanah Dieng terbukti subur untuk berbagai macam pertanian dan perkebunan. 

Ada banyak hasil pertanian yang terkenal yang berasal dari Dieng. Diantaranya kentang Dieng yang berpotensi menjadi komoditas ekspor serta berbagai macam sayur-sayuran. 

Umumnya masyarakat Dieng mengkonsumsi nasi jagung juga nasi yang berasal dari beras, sayur lombok Bandung, kacang babi, rese/ikan asin, sayur kentang, thikil kubis dan minuman purwacang dan carica.

 Namun jika kita pergi ke tempat wisata di puncak gunung Dieng, kita akan menemukan banyak pedagang " mie ongklok ", yang termasuk sebagai jajanan khas masyarakat Dieng.


Mongen  sebagai ciri khas masyarakat Dieng.

Kultur masyarakat Dieng yang suka berjemur dibawah sinar matahari ( karing ) serta Genen di pawon ( dapur ) menjadikan kulit kaki mereka menjadi kehitaman. Kulit kaki yang menghitam inilah yang disebut Mongen. Mongen menjadi salah satu kultur masyarakat Dieng, karena hampir tidak ada anggota masyarakat sana yang tidak mengalami Mongen di kakinya.


Agama dan Kepercayaan.

Agama dan kepercayaan leluhur masyarakat Dieng adalah hindu. Ini terbukti dengan peninggalan warisan berupa candi-candi hindu yang ada di  Dieng. Umumnya candi-candi tersebut berada di puncak Gunung.  Ada sekitar 7-8 candi yang ada di Kompleks Candi Arjuna, begitu masyarakat Dieng menyebut lokasi tempat candi-candi berada. Diperkirakan candi-candi tersebut dibangun pada masa kerajaan Kalingga.

Karena candi-candi tersebut juga yang membuat penduduk hindu Bali menganggap bahwa ada keterikatan dengan leluhur masyarakat Dieng. Dalam beberapa upacara keagaman hindu, para pemuka Bali melakukan upacara muspe atau mabakti. Dalam upacara yang diadakan setiap satu tahun sekali itu, peziarah dari Bali mengambil air suci yang diambil dari Gua Sumur, yang ada di pinggir Telaga Warna/air Pawitrasari.

Namun kini, hampir semua masyarakat Dieng beragama Islam. Namun demikian, mereka menjunjung toleransi antar umat beragama. Ini terbukti dengan saat upacara-upacara umat Hindu yang berlangsung di candi-candi bukit gunung, mereka tidak pernah mengganggu, malah cenderung menjaga agar upacara tersebut berlangsung dengan aman. Kultur masyarakat Dieng inilah yang sepatutnya ditiru oleh masyarakat lainnya.

Tradisi Rambut Gimbal dan Simbol Kesejahteraan Masyarakat.




Di dalam kultur masyarakat Dieng, dikenal dengan adanya tradisi rambut gimbal yang umumnya terjadi pada anak-anak. Sampai kini belum bisa dipastikan penyebab dan bagaimana terjadinya rambut gimbal tersebut.

Namun menurut cerita masyarakat setempat, fenomena tersebut terjadi setelah Kyai Kolo Dete dan istrinya Nini Roro Rence mendiami Dieng. Kyai Kolo Dete merupakan salah seorang punggawa islam pada masa kerajaan Mataram ( sekitar abad ke-14 ) yang ditugaskan di Dataran Tinggi Dieng.

Kyai Kolo Dete beserta istrinya yang sampai saat ini diyakini sebagai leluhur masyarakat Dieng mendapatkan wangsit dari Ratu Pantai Selatan untuk membawa Dieng menuju kesejahteraan. Petunjuk ini ditandai dengan adanya anak-anak di Dieng yang berambut gimbal.

Jumlah anak berambut gimbal ini kemudian menjadi simbol kesejahteraan Masyarakat Dieng

Semakin banyak anak-anak yang berambut gimbal, maka semakin sejahteralah masyarakat di sekitar Dieng. 

Umumnya anak-anak berambut gimbal ini adalah penduduk asli Dieng sendiri, kalaupun ada yang berasal dari luar Dieng, ada kemungkinan didalam darah anak tersebut mengalir darah keturunan Dieng.

Dalam memotong rambut gimbal anak-anak ini tidak bisa sembarangan. Dibutuhkan upacara khusus, yang dikenal dengan istilah ruwatan. Acara ini biasanya dilangsungkan tiap setahun sekali yang berlokasi di kompleks Candi Arjuna.


Dieng Culture Festival dan Ruwatan.

Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa memotong rambut anak gimbal dalam kultur masyarakat Dieng ini tidak boleh sembarangan, dibutuhkan upacara khusus yang dikenal dengan istilah ruwatan. Ruwatan ini dilakukan di puncak Kompleks Candi Arjuna. 

Sebelum dipotong rambutnya, anak berambut gimbal biasanya akan mengajukan permintaan yang harus dikabulkan. Permintaannya bermacam-macam, tergantung keinginan si anak. 

Acara Ruwatan ini kemudian dijadikan sebagai ajang festival pariwisata Dieng dengan tajuk Dieng Culture Festival, dibawah naungan Dinas Pariwisata setempat. Acara yang semula hanya berupa upacara pemotongan rambut gimbal ini, kini disuguhi dengan beberapa pementasan seni, konser musik jazz, pesta lampion hingga festival film yang banyak menyedot wisatawan dari luar Dieng sendiri. Uniknya, pementasan seni serta konser ini diadakan di puncak gunung bersamaan dengan ruwatan.

Dengan segala keunikan dan tradisi yang dimilikinya, menjadikan kultur masyarakat Dieng sebagai warisan budaya tak benda yang harus dilestarikan, baik itu sebagai warisan Indonesia juga  sebagai penerus keberlangsungan tradisi dan budaya masyarakat Dieng  itu sendiri.

_____________________


Artikel ini diikutsertakan dalam writing challenge yang diselenggarakan oleh DITLITBANG dan KEMDIKBUD.


Comments

Popular posts from this blog

Mau Jalan-Jalan Kemana Setelah Pandemi Usai? Ini 4 Kawasan Wisata yang Harus Saya Kunjungi Nanti!

Kau Wanita

11+ Cara Meningkatkan Potensi Ekspor Indonesia